Mengapa Perubahan Iklim?
Perubahan iklim merupakan tantangan terbesar yang dihadapi manusia saat ini. Catatan menunjukkan bahwa perubahan suhu, perubahan curah hujan, kenaikan permukaan laut, dan peristiwa cuaca ekstrim seperti badai, banjir dan kekeringan telah mempengaruhi negara-negara di seluruh dunia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk satu sisi untuk mengurangi perubahan iklim seperti target emisi gas rumah kaca mengikat untuk negara-negara maju (Kyoto Protokol, 1997) termasuk beberapa mekanisme untuk mengurangi atau menghindari emisi gas rumah kaca dengan tetap mematok suhu di bawah 2 derajat Celcius.
Dua isu besar yang di bicarakan dalam perubahan iklim adalah: Adaptasi dan mitigasi. Definisi dari Adaptasi menurut IPCC (2001) adalah sesuatu bentuk penyesuaian terhadap sistem alam dan lingkungan sebagai respon terhadap rangsangan iklim aktual.
Poin-poin penting dalam adaptasi perubahan iklim:
- Adaptasi itu penting dan bukanlah sesuatu hal yang baru dalam pertahanan diri dan keberhasilan jangka panjang untuk semua mahkluk hidup
- Adaptasi perubahan iklim bertujuan untuk mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim dengan cara mengatasi dampaknya dan/atau meningkatkan kemampuan adaptif
- Berbagai pendekatan terhadap adaptasi: mulai dari solusi teknis seperti membangun dinding pantai sebagai tindakan “ringan” dan peningkatan kesadaran, serta pengetahuan tentang perubahan iklim.
- Adaptasi bukanlah aktivitas yang berdiri sendiri, namun perlu diintegrasikan ke dalam pembangunan berkelanjutan yang utuh
Mitigasi adalah proses penurunan emisi termasuk diantaranya sumber-sumber penghasil gas-gas rumah kaca seperti CO2, CH4 dan lain-lain. Mitigasi biasanya mempunyai beberapa pendekatan termasuk dari sisi politik, ekonomi dan sosial (IPCC).
Terdapat empat strategi utama penerapan mitigasi (UNEP):
- Eliminasi berarti menghindari penggunaan alat-alat penghasil emisi gas rumah kaca. Tindakan ini memberikan penghematan biaya yang terbesar dan dapat langsung dirasakan. Contoh: Mematikan lampu saat tidak digunakan; mematikan A/C saat tidak ada orang didalam ruangan.
- Pengurangan dapat dilakukan dengan mengganti peralatan lama dan/atau mengoptimalkan struktur yang sudah ada. Tindakan mitigasi seperti ini sangat efektif dan dapat integrasikan ke dalam bisnis sehari-hari dengan usaha minimum. Contoh: Memasukkan efisiensi energi ke dalam pengambilan keputusan investasi
- Subtitusi biasanya mempunyai implikasi biaya investasi yang tinggi. Namun demikian, potensi penurunan emisi melalui subtitusi sangatlah tinggi. Contoh: Penggunaan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik dan/atau pemanas
- Offsett adalah metode berbiaya rendah namun mempunyai manfaat yang cukup besar. Walaupun demikian, metode ini sulit dilaksanakan dalam skala kecil. Contoh: Reforestasi
Pemerintah Indonesia telah berulang kali menyatakan keprihatinan serius tentang dampak negatif dari perubahan iklim. Setelah ratifikasi pemerintah Indonesia di UNFCCC pada tahun 1994 dan Protokol Kyoto di tahun 2004, pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmen yang kuat untuk mendukung usaha-usaha global untuk memerangi perubahan iklim. Lebih lanjut, pada tahun 2007, pemerintah Indonesia terpilih sebagai tuan rumah ke- 13 pada konferensi para pihak untuk UNFCCC (COP-13), yang menelurkan ‘Rencana aksi Bali’ setelah berakhirnya Protokol Kyoto pada tahun 2012 dan keputusan-keputusan lainnya.
Pemerintah Indonesia telah secara aktif terlibat dalam perundingan negosiasi internasional UNFCCC, memberikan internal respon pada perubahan iklim melalui pengarusutamaan isu iklim dalam rencana prioritas pembangunan nasional disamping prioritas lain seperti pembangunan ekonomi, program pengentasan kemiskinan dan pendidikan, antara lain-lain. Pada bulan Juli 2008, Presiden Indonesia didirikan sebuah Dewan Nasional Perubahan Iklim yang berfungsi sebagai Badan Penasehat kepada pemerintah untuk merumuskan kebijakan perubahan iklim termasuk perencanaan dan programnya.
Presiden SBY pada pertemuan G-20 di Pittsburgh mengumumkan pengurangan emisi nasional sebesar 26 % dan 41 % untuk penurunan emisi GRK jika memperoleh bantuan internasional. Sebuah gebrakan menjelang pertemuan Kopenhagen tahun 2009. Secara politis dalam arena internasional, keputusan akan komitmen ini memang sebuah langkah maju di saat negara-negara industri masih enggan untuk berkomitmen menurunkan emisi mereka.
Dalam konteks Indonesia, justru penutup pidato Presiden SBY tersebut menjadi tantangan tersendiri. Jelas sektor kehutanan (termasuk lahan gambut) memegang peran penting. Paling tidak dari sisi proporsi penyumbang emisi (berkontribusi lebih dari 80%) dan pengurangannya. Seruan untuk melindungi hutan dan menjaga keselamatan umat manusia (baca: penduduk Indonesia, terutama yang tinggal di dalam dan sekitar hutan) menjadi ironis jika berkaca pada kondisi hutan dan pengelolaannya di Indonesia.
Jika mencermati skenario tersebut,maka perlu juga melihat masalah lain yang membelit sektor kehutanan di Indonesia saat ini. Pada kenyataannya, selain kontribusi emisi, kemampuan suplai bahan baku atas permintaan sektor industri kehutanan sangat rendah. Kondisi ini dipicu oleh praktek-praktek, kebijakan dan penegakan hukum yang buruk dari pemerintah dan industri kehutanan pada masa sebelumnya. Beban ini terbawa dan tidak terjawab secara tuntas, karena kapasitas terpasang industri kehutanan tetap tinggi yang artinya permintaan bahan baku juga tinggi, sementara perusahaan yang seharusnya bisa self sufficient dengan konsesi hutan tanaman industrinya terbukti masih sangat rendah realisasi tanamnya. Kondisi hutan Indonesia menjadi semakin diperparah dengan perpanjangan masa konversi hutan alam untuk pemenuhan suplai industri kehutanan. Sekali lagi, karena industri kehutanan tidak mampu merealisasikan pembangunan hutan tanaman industrinya yang diharapkan bisa memasok kebutuhannya sendiri. Beban atas situasi ini, yang mengakibatkan tingkat deforestasi di Indonesia cukup tinggi (tertinggi di dunia, tercatat dalam Guiness Book of Records) yang berimbas pada tingginya emisi Indonesia(tercatat sebagai ke tiga terbesar di dunia).
Kenaikan harga BBM di tengah jutaan masyarakat –ekonomi lemah– kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, bukanlah sebuah solusi dan dikhawatirkan akan semakin memperkeruh krisis kepercayaan publik terhadap jalannya proses demokrasi Pemilu 2014 mendatang. Padahal produksi minyak mengalami peningkatan pertahun tahun dan 2018 akan mencapai puncaknya, dan itu berarti awal dari penurunan. Ini bisa menjadi pencetus suatu resesi energi global, konflik antar negara yang memperebutkan lahan minyak dan juga sumber makanan.
“Minyak sangat penting bagi setiap bangsa untuk melanjutkan aktivitas produksinya, termasuk pertanian dan peternakan. Kedepannya, menipisnya kandungan minyak di bumi bisa mempengaruhi hidup seluruh manusia di bumi secara signifikan. Apabila, dampak kenaikan harga terus merembet dan berlarut-larut, dimungkin mengawatirkan akan terjadi krisis kepercayaan terhadap pada pemerintah dan proses Pemilu.
Lebih kurang sepertiga dari subsidi BBM kita dipergunakan untuk membeli bahan bakar solar untuk dipergunakan pemerintah sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga diesel. Seperti yang kita ketahui, potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) harus mulai dikembangkan dan dikuasai sejak dini, dengan mengubah pola fikir (mind-set) bahwa EBT bukan sekedar sebagai energi altenatif dari bahan bakar fosil tetapi harus menjadi penyangga pasokan energi nasional.Potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) Indonesia yang cukup besar diantaranya,mini/micro hydro sebesar 450 MW, Biomass 50 GW, energi surya 4,80 kWh/m2/hari, energy angin 3-6 m/det dan energi nuklir 3 GW. Potensi panas bumi (geothermal) di Indonesia mencapai 27 GWe atau setara dengan 40% cadangan geothermal di dunia. Lalu mengapa kita masih mengimpor minyak?
MenurutKementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), belum maksimalnya eksploitasi potensi energi baru terbarukan di Indonesia, disebabkan karena izin operasional pembangkit, yang pada umumnya berada di kawasan hutan yang dilindungi oleh undang-undang khusus. Padahal kebutuhan energi baru terbarukan ini cukup mendesak, ditengah pasokan energi berbasis fosil yang menurun dan harga BBM yang naik. Masalah sinkronisasi antara instansi terkait antara pusat dan daerah juga merupakan masalah serius yang harus bisa diatasi sesegera mungkin.